Jumat, 07 Januari 2011

Mau Usia Lebih Panjang? Jadi Orang Kaya! Koran SI

Koran SI
Senin, 4 Oktober 2010 - 14:38 wib

TERNYATA kesenjangan ekonomi tidak hanya berdampak pada tingkat kesejahteraan, tapi juga pada perbedaan panjang pendeknya usia sebagai akibat perbedaan gaya hidup.

Orang yang lebih kaya justru memiliki usia harapan hidup lebih panjang rata-rata tiga tahun dibanding orang miskin. Demikian hasil temuan studi yang dilakukan Catholic Health Australia (CHA), organisasi nasional bidang kesehatan Australia dalam laporan “The report Health Lies in Wealth” yang dipublikasikan (26/9/2010).

Meskipun menganalisis hasil survei dengan responden warga Australia usia antara 25-64 tahun, laporan ini cukup menggambarkan alasan mengapa warga miskin memiliki peluang hidup lebih pendek. Status sosio-ekonomi merupakan ukuran prediksi yang lebih akurat untuk melihat angka harapan hidup seseorang. Terutama dari peluang terkena penyakit kardiovaskular dibanding level kolesterol aktivitas merokok.

Laporan yang disusun The University of Canberra’s National Centre for Social and Economic Modelling (NATSEM) tersebut mengungkapkan, sebanyak 65% responden dengan pendapatan rendah menderita penyakit jangka panjang dibanding hanya 15% responden dari pendapatan tinggi. Para responden yang berpendapatan rendah tersebut lebih cenderung mengalami obesitas, merokok, dan bagi pemuda lebih suka meminum minuman beralkohol.

“Laporan ini menunjukkan bahwa responden yang tidak menamatkan sekolah SMA-nya adalah faktor sangat berisiko ketimbang faktor biologis lain untuk peluang terkena penyakit kardiovaskular,” ujar Chief Executive Officer CHA Martin Laverty sebagaimana dikutip The Australian (26/9/2010). Lebih lanjut, studi ini memaparkan bahwa angka usia harapan hidup bagi masyarakat miskin 3,1 tahun lebih rendah dibanding kelompok responden dari masyarakat kaya.

Hampir 65% responden yang hidup dengan sewa rumah memiliki masalah kesehatan jangka panjang dibanding hanya 15% responden yang memiliki rumah sendiri. Kemudian lebih dari 60% pria pengangguran dilaporkan memiliki masalah kesehatan jangka panjang atau kecacatan. Lebih dari 40% pada wanita, tingkat angka obesitas tiga kali lebih besar pada responden yang tinggal di perumahan publik atau sewa ketimbang mereka yang tinggal di rumah sendiri.

Selain itu, responden yang tidak menamatkan sekolah menengah juga lebih berpeluang menjadi pecandu alkohol dua kali lebih besar ketimbang responden yang beruntung mengenyam bangku pendidikan tinggi. “Studi ini menunjukkan target kebijakan yang hanya mempertimbangkan perubahan perilaku tidaklah akan banyak membantu,” ungkap Laverty.

Temuan penelitian cukup menarik mengingat Australia merupakan negara dengan standar kesehatan internasional ternyata masih mengalami kesenjangan diakibatkan perbedaan status ekonomi. Ketidaksetaraan kesehatan bagi warga Australia pada usia bekerja ini tampak sebagai sesuatu yang umum sehingga muncul kesimpulan lebih rendah pendapatan seseorang, lebih buruk kesehatannya.

Serta kesenjangan ini tampak sangat lebar. Angka tingkat pendapatan, level pendidikan, tingkat bekerja, status tempat tinggal, hingga koneksi sosial sangat terkait tingkat kesehatan seseorang. Penelitian ini menemukan fakta, satu dari sembilan orang berusia 25–44 tahun dan satu dari lima orang usia 45–64 tahun memiliki level kesehatan yang buruk. Sekitar 50% pria dan wanita berusia 45–64 tahun yang memiliki pendapatan tergolong 20% termiskin melaporkan kesehatan mereka buruk.

Kemudian 20–30% yang berada di garis kemiskinan dan berusia 25–44 tahun memiliki kesehatan yang buruk dibanding 10% responden yang sedikit berada di atas garis kemiskinan. Hampir 15% warga Australia dari usia 25-44 tahun dan 30% dari usia 45-64 tahun melaporkan kesehatan mereka yang memburuk dan mengganggu aktivitas harian mereka yang merupakan kalangan kurang beruntung secara ekonomi.

Terkait aktivitas merokok, kurang dari 20% orang dewasa di Australia kini dilaporkan memiliki kebiasaan merokok terutama mereka dari ekonomi lemah. Hampir sepertiga dari pemuda miskin adalah perokok. Dalam tingkat yang relatif, risiko tertinggi menjadi perokok adalah perempuan miskin berusia 25–44 tahun. Faktor sosio-ekonomi paling diskriminatif dari aktivitas merokok ini adalah disebabkan pendidikan, status tempat tinggal, dan tingkat pendapatan.

Hanya 15% responden yang dilaporkan merokok dari kalangan yang berpendidikan tinggi. Dengan demikian, wajar jika semakin miskin seseorang, semakin rendah tingkat pendidikannya dan pendapatannya, semakin buruk gaya hidupnya. Wajar juga bagi orang kaya yang beruntung bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dan segala fasilitas serbamemadai memiliki peluang usia harapan hidup lebih tinggi.

Gaya hidup sehat memang tidak selalu mahal, tapi tidak murah bagi si miskin yang memiliki pendapatan pas-pasan. Hasil survei serupa sebenarnya juga diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan, salah satu belanja terbesar masyarakat miskin di Indonesia justru untuk membeli rokok.

Angka kemiskinan per Maret 2010 yang dipublikasikan Juli 2010 ini mengungkapkan bahwa dominasi pengeluaran utama si miskin di antaranya 73,5% adalah untuk makan. Angka ini hanya berubah sedikit dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 73,6%. Makan menjadi kebutuhan dasar orang miskin.

Setelah itu baru mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk pendidikan dan transportasi dan sisanya untuk kesehatan. BPS mengungkapkan, komoditi makanan yang dikonsumsi orang miskin adalah beras di urutan pertama untuk lingkungan perkotaan dengan porsi 25,2%, sedang pedesaan mencapai 34,11%. Meski miskin, kebanyakan mereka juga tercatat memenuhi kebutuhan untuk belanja rokok sebesar 7,93% untuk perkotaan dan di pedesaan sebesar 5,9% dan ini menempati peringkat kedua untuk pengeluaran si miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar