Sabtu, 08 Januari 2011

Manajemen resiko

Tujuan Pembelajaran manajemen resiko
• Mengerti maksud dan tujuan manajemen resiko
• Mengetahui sistem pengolahan dalam menajemen resiko
• Mengetahui Tahapan dalam pengambilan keputusan
PENGERTIAN MANAJEMEN RESIKO
Manajemen Resiko merupakan kegiatan manajemen yang dilakukan pada tingkatan, tingkat pimpinan pelaksana . yaitu kegiatan penemuan dan analisis sistimatis atas kerugian kerugian yang mungkin dihadapi oleh badan usaha,akibat suatu resiko serta metode yang paling tepat untuk menaggani kerugian tersebut yang dihubungkan dengan tingkat profitabilitas badan usaha.

DILIHAT DARI DUNIA USAHA MANAJEMEN RESIKO
Merupakan sesuatu hal yang tidak boleh diabaikan bertambah kompleknya kegiatan usaha telah membawa pengaruh pada kebutuhan untuk lebih khusus mempertahankan resiko yang mungki dihadapi. Resiko tersebut muncul karena beberapa factor yang merupakan akses dari usaha kegiatan modern .

FAKTOR – FAKTOR RESIKO YANG MUNCUL ANTARA LAIN
a. Bertambah cepatnya perkembanggan perdagangan internasional serta kegiatan yang bersifat internasional
b. Perkembangan teknologi yang begitu cepat masuk pada aspek kegiatan usaha
c. Perkembangan integrasi organisasi usaha dan kerjasama usaha dengan melahirkan model akusisi serta bentuk integrasi lain
d. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap sesuatu yang dihasilkan oleh kegiatan usaha , misalnya polusi, standarisasi produk, tanggung jawab hukum serta aspek-aspek sosial lainnya.

Manajemen Resiko seperti dengan manajemen lain merupakan suatu badan tidak tercapai . karena tidak dimanfaatkanya fasilitas-fasilita yang dimilikinya, terjadinya suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau kerusakan. Terhadap resiko- resiko yang mungkin timbul serta segala yang diakibatkannya dan bagaimana cara mengatasinya atau mengeleminir merupakan bagian dari manajemen resiko

Etika Seni dan Etika Ekonomi

Dalam Neo Liberalisme telah tumbuh satu produk baru yang namanya IMAGE. Dan terjadi supply & demand di Image yang membentuk harga melampui nilainya. Pada Produk barang biasanya harga sedikit dibawah nilai dan bedanya tidak jauh. Pada produk image harga jauh melampaui nilai. Apa artinya? Terjadi kebohongan publik yang dipromosikan, di-iklankan menjadi kebenaran yang akhirnya diterima oleh publik bukan karena kebenaran namun karena kekuatan persuasif dari iklan dan di dukung penguasa.

Di Amerika, Gubernur Bank Sentral mempunyai Level yang sama dengan Kepala Pasar Modal. Gubernur Bank Sentral mengatur tingkat suku bunga yang tepat antara sektor rie (uses)l dan sektor moneter (sources). Apa pekerjaan Kepala Pasar Modal? Dia berkreatifitas bagaimana memperjual belikan nilai image yang ada di sektor riel, bukan nilai fundamentalnya. Terjadilah goreng menggoreng surat berharga di Pasar Modal, harga jauh melampaui nilai dan pada saat mereka kembali dari mimpi ke dunia nyata maka terjadilah apa yang dinamakan krisis ketidak mampuan membayar hutang secara masal. Kredit properti di AS mencapai 70% dari total PDB mereka, atau senilai USD 700 Milyar. Dan ini macet masal. Pada saat mimpi yang kebablasan dari Kepala Pasar Modal itu, Gubernur Bank Sentral tidak berani membangunkannya karena pangkatnya selevel dan merasa itu bukan urusannya dan bukan bidangnya. Gubernur sudah menguji akan ada kerusakan sosial tetapi tidak mau berbuat apa-apa karena menurutnya bukan urusannya. Menteri Keuangan juga selevel dengan Kepala Pasar Modal dan juga tidak berbuat apa-apa, sehingga akhirnya hanya Presiden yang bisa membangunkan Kepala Pasar Modal dari Mimpi kebablasan. Namun salah satu pelaku Pasar Modal yang berpengaruh adalah juga kerabat dari Presiden Goerge Bush. Maka terindikasi KKN tingkat tinggi paling super canggih.

Inilah beda kreatifitas seorang ekonom dengan seorang Seniman. Mimpi seorang Seniman menghasilkan kreatifitas yang enak di tonton. Sedangkan mimpi seorang ekonom menghasilkan kreatifitas yang tidak enak ditonton, yakni krisis yang menyebar kemana-mana. Seorang ekonom harus bermimpi sambil sadar dan kontrol diri agar mimpinya tidak jauh dari kenyataan karena dia ada di dimensi kini. Sedangkan seorang Seniman akan melaporkan perjalanan mimpinya yang jauh dari dimensi di sana dan sharing kepada kita tentang keindahan-keindahan yang ditemukannya di dimensi sana.

Maka jika kita mau bermimpi kita harus menjadi seniman, jika kita mau realistis kita harus menjadi pekerja sektor riel salah satunya ekonom. Mimpi yang dialami seniman adalah inspirasi sedangkan mimpi yang dialami para pelaku sektor riel adalah ide. Inspirasi itu dipertontonkan sedangkan ide itu harus di uji. Yang terjadi di krisis sektor mortgage Amerika adalah ide yang dirubah jadi inspirasi dan tidak di uji melainkan dipaksakan untuk keuntungan segelintir pihak yakni para eksekutif Investment Bank.

Kunci dari komunikasi dengan mimpi adalah ETIKA. Sang kunci ETIKA lah yang berperan. ETIKA itu apa? ETIKA adalah TIDAK EGOIS. Kerusakan sosial terjadi pada saat konflik dari orang-orang tidak beretika. Seorang Seniman untuk mengkomunikasikan inspirasinya tidak boleh egois harus mengajak teman-teman sesama seniman lainnya sehingga bisa menjadi orchestra yang indah, atau pameran lukisan bersama akan lebih baik daripada sendirian, atau para penari sendratari dengan iringan gamelan yang kompak saling mengisi. Begitupun Ekonom. Harus bersedia agar idenya di uji jika tidak ingin terjadi kerusakan sosial.

Maka peraturan seperti apapun canggihnya tidak akan berjalan tanpa dukungan ETIKA.

BPS Janjikan Bobot Harga Cabai Dicoret

INILAH.COM, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menjanjikan pemerintah untuk mengkaji ulang (review) bobot harga cabai dalam laju inflasi.

Hal tersebut diungkap Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati ketika ditemui di gedung Kemenkeu, Jumat (7/1). "Akan direview. BPS berjanji untul me-review kembali. Kan begini, bundle of commodity (kelompok komoditas) kan selalu di-review konsistensinya, terus di-review juga, memang layak nggak sih," ungkapnya.

Menurutnya, laju inflasi berdampak cukup besar bagi kesejahteraan masyarakat sehingga BPS sudah seharusnya mengkaji ulang bobot cabai dalam perhitungan inflasi. "Kemarin, saya dengar BPS akan melakukan review mengenai itu. Itu bagus, karena artinya, ini kita bicara soal statistik ya, saya nggak bicara soal inflasi," ujarnya.

Pemerintah berharap, dengan adanya perubahan perhitungan teknis inflasi nantinya akan lebih mencerminkan kondisi kelompok komoditas yang sesungguhnya. "Soal statistik itu kan kalau ada outlayer, data yang tiba-tiba naik tiba-tiba turun kalau kita me-run model, itu bisa membalikan sign. Bisa mengubah tren, perhitungan menjadi tak cukup valid untuk menangkap, bukan soal itu apa pengaruhnya, tapi lebih untuk menunjukkan bahwa bundle of commodity-nya harus mencerminkan," paparnya.

Namun Anny belum bisa menjabarkan, apakah nantinya perhitungan harga cabai atau komoditas pangan lainnya dalam inflasi, akan berupa pengurangan bobotnya atau bahkan dihilangkan sama sekali sebagai bentuk penyesuaian kala harga bergejolak. Pasalnya, hal tersebut adalah kewenangan BPS. "Lho kita kan belum tahu apakah nanti hilang ataukah bobotnya menjadi kecil di dalam inflasi, di dalam model "xx" commodity-nya," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah berjanji akan menjaga distribusi dan ketersediaan stok komoditas pangan agar harganya stabil. "Kita harus bisa, kalau saya bilang kita harus, kita harus mengendalikan inflasi di 2011. Kita all out," tegasnya.

Sebelumnya, Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan akan tetap mempertahankan harga cabe dalam perhitungan inflasi. Namun, bobot volumenya terhadap inflasi akan dikurangi apabila harga menguat. “Gak bisa, gak mungkin BPS abaikan cabe. Inflasi itu kan mengukur spending masyarakat, gak bisa,” tegas Kepala BPS Rusman Heriawan kepada INILAH.COM ketika dikonfirmasi apakah harga cabe akan dicoret dari perhitungan inflasi, Minggu (2/1).

Ia melanjutkan, inflasi mengukur daya belanja masyarakat sehingga dengan mengeluarkan harga cabe sebagai indikator maka akan mengurangi poin daya belanja. Demikian pula apabila harga komoditas pangan lainnya seperti bawang merah, bawang putih, dan sejeninsya

Pemerintah Cemaskan Kemiskinan Naik

INILAH.COM, Jakarta - Pemerintah was-was kenaikan harga pangan dunia bakal mengerek angka kemiskinan dari 13,3% pada tahun lalu menjadi 14,5% pada tahun ini.

“Masyarakat miskin sangat terpengaruh oleh kenaikan harga bahan pangan karena dua pertiga dari konsumsi mereka adalah pada konsumsi pangan, sementara golongan lain lebih terpengaruh pada keniakan bahan bakar minyak (BBM),” demikian dikutip dalam Bahan Retreat Pangan di Jakarta, Jumat (7/1).

Dalam bahan tersebut diungkapkan ada enam skenario perhitungan dampak kenaikan harga pangan, yang diwakili oleh beras dan cabai, terhadap tingkat kemiskinan. Adapun kurun waktu yang digunakan dalam perhitungan potensi peningkatan tingkat kemiskinan adalah Maret 2010 (13,3%) ke Maret 2011.

Skenario pertama adalah dengan kenaikan harga beras sekitar 21,3% ditambah dengan kenaikan harga cabai 171%, maka kemiskinan angka berada di kisaran 14,5%. Skenario kedua, kenaikan harga beras 14,3% ditambah dengan kenaikan harga cabai 3%, maka kemiskinan akan berada di level 14%.

Skenario ketiga, kenaikan harga beras sebesar 21,3% ditambah dengan kenaikan harga cabai 3%, maka tingkat kemiskinan bergerak menjadi 14,2%. Selanjutnya, skenario keempat adalah kenaikan harga beras 14,3% ditambah kenaikan harga cabai 171%, maka kemiskinan menjadi 14,3%.

Skenario kelima, kenaikan harga beras sebesar 13,1% ditambah kenaikan harga cabai 37%, maka berimplikasi mendongkrak kemiskinan ke level 14% dan skenario terakhir adalah dengan kenaikan harga beras 7,1% dan kenaikan harga cabai 37%, maka kemiskinan naik tipis menjadi 13,8%.

Estimasi tersebut berdasarkan pada realisasi harga pangan pada Desember 2010 dan tren kenaikannya yang diperkirakan masih akan terjadi hingga Maret 2011. Dalam data tersebut dinyatakan bahwa posisi harga beras pada Desember 2010 dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya (year on year) rata-rata naik sebesar 30,8%, lebih tinggi dibandingkan kenaikan Desember 2009 dari posisi Desember 2008 yang sekitar 6,1%.

Dan pada periode yang sama, kenaikan harga juga terjadi pada jenis komoditas lainnya, antara lain cabe merah naik 101,3%, cabe rawit 140,06%, minyak goreng curah 28,61%, dan gula pasir 9,32%.

Berdasar data tersebut juga diungkapkan bahwa kenaikan harga pangan pada 2010 telah menyumbang inflasi 15,6%, pada 2008 sebesar 20%, dan pada 2006 sebesar 18%.

Dengan demikian pemerintah menyatakan bahwa perlu upaya stabilisasi harga pangan dengan melakukan interfensi menggunakan instrument fiskal dan perdagangan yaitu melakukan impor bagi komoditi yang diperlukan, mengurangi biaya perdagangan dengan menghapus bea masuk, penerapan ‘jalur hijau’ bagi impor komoditi pangan, dan menyederhanakan tata niaga komoditi pangan.

Selanjutnya, melakukan pengamanan pasokan dalam negeri denga n memastikan rencan aproduksi terlaksana dengan baik, serta menyiapkan rencana kontijensi utnuk menghadapi dampak anomali iklim serta meminimumkan dampak gejolak situasi bagi kelompok masyarakat yang paling rentan atau berpendapatan rendah.

Sementara itu Menteri Perencanaan Pembangunan Armida S Alisjahbana menyatakan, pihaknya masih tetap optimis akan pencapaian target kemiskinan tahun ini. “Kami di Baappenas tetap optimistis bahwa target kemiskinan awal tahun dapat tercapai,” ungkapnya di kantor Kementerian Pertanian, petang ini.

Kenaikan HPP Secara Psikologis Picu Inflasi

Menurut Rusman, tidak ada korelasi langsung bahwa kenaikan HPP akan dongkrak laju inflasi. "Gak ada, gak ada asumsi itu. Karena begini tengkulak akan lebih rajin beli ke petani seolah-olah petani kan tertarik harga HPP, tengkulak akan beli banyak lagi kan. Dampaknya tak langsung, secara psikologisnya tadi. HPP naik, petani merasa membeli di atas HPP, terus tengkulak dia beli di atas itu," ungkapnya di kantor Kementrian Pertanian, Jumat (7/1).

Kendati demikian, ia tidak memungkiri bahwa dampak psikologis yang akan muncul adalah bahwa harga beras akan terseret naik seiring naiknya HPP. "Secara tidak langsung, iya, ya, ya (naik)," ujarnya.

Di sisi lain, kenaikan HPP malah akan memberikan keuntungan bagi petani karena dapat menaikkan tingkat kesejahteraannya, karena selama ini tengkulak lebih sering diuntungkan. "Ya tapi begini ya tpi kan petani juga yang merasakan kalau harga beras naik, petani kan rakyat juga. Dan harga beras naik masih bisa dibeli oleh konsumen secara umum, daya belinya masih cukup kuat. Harga beras naik, ada sisi positifnya sebenarnya. Asal petani ketika menjual harganya jatuh, lalu dibeli tengkulak itu barangkali itu yang dibilang...kurang cantik," pungkasnya.

Dalam Bahan Retreat Pangan di Jakarta, hari ini, kenaikan HPP akan memberi dampak negatif maupun positif. Adapun dampak negatifnya antara lain, akan terjadi kenaikan harga eceran (koefisien transmisi kenaikan HPP ke harga eceran sebesar 0,77%) dan akan berdampak terhadap inflasi dimana bobot beras akan menyumbang 0,35-0,40%. [hid]

Etika ekonomi dalam Memanfaatkan Faktor-faktor Produksi

Etika ekonomi dalam memanfaatkan faktor-faktor produksi adalah bagaimana cara kita memanfaatkan faktor-faktor produksi yang ada dengan sebaik-sebaiknya agar memberikan keuntungan yang maksimum, namun dengan tidak mengobankan atau merugikan kepentingan orang atau pihak lain yang jauh lebih banyak. Faktor-faktor produksi yang ada harus dikelola dengan baik. Misalnya, faktor produksi tanah, harus selalu dijaga kelestariannya dan disuburkan setiap saat. Air laut, sungai, dan danau harus dijaga kebersihannya agar seluruh ekosistem yang ada dapat terus berfungsi dengan baik. Ikan yang terus hidup dan air yang bersih dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Begitu pula dengan hutan, perpohonan di hutan tetap dijaga kelestariannya. Kita boleh saja melakukan ekploitasi { pemanfaatan } terhadap sumber daya alam, dengan syarat tidak merusak lingkungan dan merugikan orang lain. Selain pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan juga berlaku bagi sumber daya manusia biasannya dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan kemampuan tenaga kerjanya demi tercapainya tujuan perusahaan. Tenaga kerja tidak bisa bekerja melampaui batas kemampuannya. Modal yang kita miliki juga harus diperlakukan secara efisien, melebihi kebutuhan [ perobosan ]. Kelebihan dana hasil pemenuhan kebutuhan sebaiknya ditabung dalam bentuk barang. Untuk modal dalam bentuk barang, diperhatikan penggunaannya agar selalu berfungsi dengan baik { tetap produktif } dan tahan lama.

Pamor Indonesia Meningkat di Investor Dunia

VIVAnews - Memasuki akhir tahun 2010, Komite Ekonomi Nasional (KEN) membuat review perekonomian Indonesia selama 2010. Menurut KEN, Pemerintah Indonesia telah berhasil menjaga perekonomian stabil meski belum optimal.

Catatan Komite Ekonomi Nasional memperlihatkan keberhasilan Indonesia mengatasi krisis perekonomian global 2008/2009 telah menaikkan pamor Indonesia di mata investor, terutama investor asing.

"Ini bisa terlihat dari kondisi pasar modal Indonesia yang tiba-tiba menjadi menarik perhatian dan masuk dalam radar investor internasional," tulis laporan singkat KEN yang dipublikasikan hari ini, Senin 20 Desember 2010. Tak heran bila kemudian pasar modal di Indonesia mengalami kenaikan signifikan. Bahkan, kata KEN, tatkala Indonesia dapat menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan semakin banyak investor asing yang masuk ke pasar modal Indonesia.

Menjelang akhir 2010, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga telah menembus 3500, bahkan pada 19 November 2010 IHSG berhasil naik ke level 3724 atau naik 46,98 persen dibandingkan dengan level terakhir 2009. Kinerja IHSG ini merupakan salah satu yang tertinggi du dunia. Penguatan IHSG terjadi karena dukungan perbaikan ekonomi yang terjadi.

Namun demikian, KEN merekomendasikan kehati-hatian pemerintah diperlukan atas penguatan ini. Tantangan yang perlu dipecahkan saat ini adalah, bagaimana mengalirkan modal asing ini masuk ke sektor produksi atau sektor riil.

Hal yang menguntungkan bagi Indonesia adalah masuknya dana asing, pada November 2010, yield surat utang Indonesia berhasil turun sampai di kisaran 6,44 persen. Rendahnya imbal hasil ini memberikan dampak positif ke pembayaran bunga surat utang baru yang diterbitkan karena lebih murah.

Khusus untuk pertumbuhan kredit investasi, Indonesia pada awal tahun juga ada di kisaran 12 persen. Namun langkah Bank Indonesia selama berjalannya tahun anggaran telah membuahkan hasil. Tercatat pada September 2010 laju pertumbuhan kredit dinilai telah normal dengan porsi pertumbuhan kredit sudah sampai 21,5 persen dengan kredit modal kerja tumbuh sebesar 21 persen dan kredit investasi tumbuh 17,6 persen. Untuk total dana pihak ketiga di perbankan sampai September 2010 tercatat mencapai Rp2.144,1 triliun atau naik 15,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

KEN mencatat memasuki tahun 2010 Indonesia sebenarnya memiliki modal yang cukup meyakinkan, yakni inflasi 2,8 persen pada tahun 2009. Tekanan inflasi yang relatif rendah ini sempat membuat semua pihak optimis. "Namun tekanan harga pangan membuat inflasi 2010 berada di atas target pemerintah maupun Bank Indonesia," tulis KEN.

Selain itu, pertumbuhan kredit yang mulai meningkat dan kenaikan tarif listrik di pertengahan tahun 2010 turut memberikan tekanan inflasi tambahan. Akibatnya, inflasi 2010 diperkirakan berada pada kisaran 6-6,5 persen.

Sepanjang 2010, Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate pada 6,5 persen karena tekanan inflasi masih relatif terkendali. Suku bunga dunia masih berada pada level yang rendah sehingga mengurangi tekanan terhadap Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga. Menaikkan suku bunga tidak menjadi pilihan BI karena dikhawatirkan justru akan mendorong arus modal masuk lebih deras. Artinya, BI rate akan bertahan pada 6,5 persen sampai dengan akhir tahun 2010.

Untuk rupiah, memasuki 2010, melanjutkan tren penguatan yang terjadi sejak 2009. Optimisme terhadap perekonomian Indonesia yang berhasil mengatasi tekanan krisis perekonomian global telah memicu aliran modal ke Indonesia. Ini sekaligus memberikan sentiment positif terhadap rupiah. Selain itu, pelemahan dolar terhadap hampir seluruh mata uang dunia juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap rupiah.

Pada Agustus rupiah menguat ke level Rp9000 per dolar. Pada akhir tahun 2010 nilai tukar diperkirakan masih akan ada di kisaran Rp9000 per dolar

Sebelas Tantangan Ekonomi Indonesia 2011

VIVAnews - Perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi masih menjanjikan, dengan pertumbuhan diperkirakan berkisar 6,4 persen. Pertumbuhan ini lebih besar 0,6 persen dibandingkan target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,8 persen.

Namun, apa yang menjadi tantangan dan risiko yang harus diantisipasi oleh Indonesia pada 2011?

Komite Ekonomi Nasional dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia 2011 menuturkan ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia di tahun depan.

Pertama, tantangan atas kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.

Kedua, terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Pengendalian dan mitigasi arus modal serta kemungkinan arus balik disebabkan kesalahan mengantisipasi arus modal menjadi risiko yang harus diperhatikan.

Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.

Ketiga, subsidi energi dan alokasi yang kurang efisisien. Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapat subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.

Keempat, risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola demand (permintaan).

Padahal, lanjutnya, selain faktor demand, inflasi juga dipengaruhi faktor suplai atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.

Kelima, infrastrukstur dan interkoneksi (transportasi) yang kurang memadai.
Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan.

"Jika tidak ada perbaikan akan terjadi kemacetan luar biasa, yakni kemacetan ekonomi," ujar Chairul.

Keenam, peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Masalah daya saing Indonesia masih tertinggal dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand.

Ketujuh, daya serap atau belanja pemerintah (pusat dan daerah) yang masih belum optimal.

Kedelapan, risiko yang berkenaan dengan kondisi politik dan hukum yang terjadi. Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.

Kesembilan, risiko perubahan iklim, bencana alam, dan krisis keuangan yang datang secara mendadak. Semestinya, risiko ini sudah dapat diatasi dengan baik mengingat kita telah belajar dari pengalaman dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kesepuluh, tantangan risiko global, seperti pemulihan ekonomi negara maju masih akan lama, sehingga berdampak pada pemulihan ekonomi dan perdagangan dunia.

Kesebelas, Geopolitical-Geoeconomy G2 mengenai persoalan ketidakseimbangan ekonomi dunia, perang kurs dan potensi perang korea yang sangat tergantung pada G2 (China-AS), bukan G20. Hubungan saling membutuhkan, "Benci tapi rindu" AS-China, yang harus mencari penyelesaian secara kooperatif. Serta risiko gagal bayar utang negara-negara Eropa. (hs)

Penghambat Tumbuhnya Ekonomi Indonesia

VIVAnews - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,8 persen diperkirakan sesuai target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010.

Namun, Chief Ekonomist Danareksa Sekuritas Purbaya Yudhi Sadewa mengaku meski sesuai target masih ada kelemahan.

Menurutnya, yang menghambat perekonomian Indonesia ada dua kategori. Pertama, belanja pemerintah yang lambat. Kedua, yaitu gangguan harga pangan. "Sejak awal tahun ini sudah terlihat tekanan inflasi dari sektor pangan cukup signifikan," kata Purbaya di Jakarta, Kamis 23 Desember 2010.

Purbaya mengakui, meski pemerintah sudah berusaha tapi sepertinya belum membuahkan hasil. Bahkan, peran sebagai pengendalian harga sangat minim, sehingga menggerus daya beli masyarakat. "Terlihat, dalam dua bulan terakhir di tahun ini perekonomian sedikit melambat," ujar dia.

Sedangkan Chief Economist Bank Mandiri Mirza Adytiaswara berpendapat, perekonomian Indonesia 2010 tumbuh di atas ekspektasi. Menurutnya, perspektif perekonomian Indonesia dari segi sektor riil terjadi perlambatan di kuartal tiga tapi di sektor finansial terus melesat karena antisipasi terhadap investment grade yang akan didapat Indonesia.

"Finansial market lebih dulu jauh mengatisipasi daripada sektor real," ujarnya.

Sementara itu, Patrick Waluyo dari segi pelaku pengusaha menilai, tahun ini dari sektor yang menonjol adalah banyaknya sumber dana pembiayaan dan kredit yang cukup besar. Hal itu dapat terlihat dari konsumsi pembelian kendaraan bermotor dan investasi yang mulai bergulir. "Suku bunga di 2010 juga stabil," tuturnya.

Namun yang perlu diperhatikan, kata dia, ialah peningkatan kredit apakah diikuti dengan daya beli masyarakat. Selain itu, di tahun ini bagi industri pengolah makanan juga tidak terlalu mengembirakan dari segi margin. "Memang volume naik, tetapi segi biaya-biaya juga naik," ujar Patrick.

Kendati demikian, secara keseluruhan Patrick menilai, performa perusahaan-perusahaan di Indonesia cukup bagus. Hal ini merefleksikan keadaan perekonomian Indonesia yang riil. "Dari segi pelaku pasar 2010 adalah tahun yang baik dan positif," kata dia

Syarat Indonesia Jadi Raksasa Ekonomi Dunia

VIVAnews - Ekonom Raden Pardede mengatakan Indonesia dapat menjadi kekuatan 10 besar ekonomi dunia pada 2025. Namun, untuk mencapai sasaran itu, harus diikuti perubahan perilaku, karena dengan pola seperti saat ini kemungkinan sulit untuk mewujudkan hal tersebut.

"Bisa saja itu tercapai. Persoalannya bagaimana kita mencapai ke sana. Apa syaratnya? Kalau dengan pola seperti sekarang sulit dicapai," ujar Raden kepada VIVAnews.com di Jakarta, Jumat 31 Desember 2010.

Menurut Raden, perlu adanya perubahan dalam perilaku, baik pemerintah, politisi, pebisnis, maupun penegak hukum. Jika tidak ada perubahan perilaku, target itu hanya menjadi angan-angan.

Dia menyebutkan empat hal utama yang harus diubah pemerintah. Pertama, pemerintah harus bekerja dan tidak boleh hanya omong kosong. Selain itu belanja pemerintah juga harus bisa dilakukan secara efisien dan efektif.

Kedua, pemerintah harus menciptakan iklim investasi ekonomi yang baik. Ketiga, pemerintah harus menjaga kepastian hukum, dan mengurangi ketidakpastian di dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan keempat, memelihara kestabilan politik.

"Politik kita harus kondusif dengan tujuan mensejahterakan masyarakat," ujarnya.

Raden melanjutkan, empat hal itu menjadi yang utama. Selanjutnya, pemerintah harus fokus untuk mempercepat pembangunan sektor infrastruktur yang selama ini sangat terlambat pembangunannya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meyakini Indonesia dapat mencapai kekuatan 10 besar ekonomi dunia pada tahun tersebut.

"Pada 2025, visi kami sudah harus meraih PDB (produk domestik bruto) US$3,7-4,7 triliun, pendapatan per kapita berkisar US$12-16 ribu, sehingga jadi kekuatan 10 besar ekonomi dunia," kata Hatta di sela Rapat Kabinet terbatas bidang ekonomi di Istana Bogor, Kamis 30 Desember 2010.

Hatta merinci, Indonesia memiliki potensi, peluang, dan momentum yang baik di tengah situasi global dunia. Indonesia berada di tengah perdagangan yang meningkat cepat pada 2008. Sekitar 54 persen ekspor di negara berkembang didorong negara sejenis lainnya.

Berbeda dengan 12 persen saja pada 2008, sehingga Indonesia memiliki posisi bagus. Pengaturan arus modal dan imbal hasil (yield), menurut Hatta, juga akan terus rendah di negara maju. Akibatnya, modal pun akan terus masuk ke negara berkembang.

Selain itu, sejumlah sumber daya alam yang dimiliki Indonesia juga menjadi alasan atas keyakinan pemerintah untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. "Indonesia punya kelapa sawit, timah, kakao, bauksit, dan panas bumi. Semua belum terkelola secara baik, belum jadi added value memadai," ujar Hatta.

Pemerintah pun memprediksi, transformasi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dapat dicapai pada 2013. Pada 2014, PDB Indonesia pun ditaksir mencapai US$1-1,2 triliun.

Jumat, 07 Januari 2011

Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang

Ketergantungan pada utang luar negeri dan intervensi asing membelenggu Indonesia untuk bisa membuat lompatan-lompatan jauh ke depan dalam perbaikan ekonomi. Benarkah Indonesia sekarang ini mengalami apa yang disebut sebagai Fisher’s Paradox?

Mengapa semakin besar utang luar negeri yang dibayar, semakin besar akumulasi utang? Benarkah kita sudah merdeka secara ekonomi?

Seorang panelis pada Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” pekan lalu mengatakan, sampai sekarang ia tidak melihat ada keinginan dan komitmen jelas dari pemerintah untuk menghentikan ketergantungan pada utang atau keluar dari jerat utang.

Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban utang luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru hingga langkah paling radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan pembangkangan dengan mengemplang utang karena sebagian utang luar negeri yang ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).

Alih-alih meminta penghapusan utang, sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pun pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah.

Menurut Gubernur BI, meskipun tidak dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa sebesar 7,8 miliar dollar AS bisa diputar oleh BI untuk menambah penghasilan pemerintah.

Tahun ini, setelah IMF menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh pejabat Departemen Keuangan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P Nasution mengatakan pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka dari Indonesia.

Sikap ini dinilai sebagai upaya mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap pemerintah yang menolak anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama dan menolak utang baru juga sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional yang semakin kritis terhadap utang. Kritik tidak hanya muncul berkaitan dengan efektivitas utang itu sendiri, tetapi juga sisi kelembagaannya, sisi ideologi, serta implikasi sosial politiknya.

Dari efektivitas, secara internal utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1997; Todaro, 1987).

Secara eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan juga pada tradisi pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).

Dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut, untuk mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winters, 2004).

Dari sisi ideologi, utang luar negeri dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor, terutama AS, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia dan ”menguras dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi sosial politik, utang luar negeri dicurigai sengaja dikembangkan oleh negara-negara kreditor untuk mengintervensi negara-negara pengutang.

Secara tidak langsung, utang dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan obat-obatan terlarang, serta terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanton, 2000).

Masalah utang luar negeri sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah menjadi pelanggan utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang baru menjadi masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang diterima lebih besar dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang harus dibayar setiap tahun) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.

Tahun 1950, utang pemerintah tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar AS.

Pada awal kemerdekaan, sikap Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi, mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, mereka mewaspadai kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk mencederai kedaulatan Indonesia sehingga mereka cenderung menetapkan persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.

Syarat tersebut, negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, dan suku bunga tidak lebih dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka waktu utang cukup lama, untuk keperluan industri 10-20 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur lebih lama lagi (Hatta, 1970).

Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula yang membuat Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.

Pemutus lingkaran setan?

Pasca-Soekarno, utang mengalami pembengkakan secara dramatis. Orde Baru, dipelopori oleh kelompok orang-orang terbaik yang disebut Mafia Berkeley, menganggap utang luar negeri sebagai salah satu langkah tepat untuk memutus lingkaran setan kemiskinan melalui pembangunan besar-besaran (the big push theory), yang di antaranya dibiayai dengan utang.

Total utang yang pada akhir era Soekarno baru sebesar 6,3 miliar dollar AS (terdiri dari 4 miliar dollar AS warisan Hindia Belanda dan 2,3 miliar dollar AS utang baru) membengkak menjadi 54 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Soeharto.

Selama dua tahun era BJ Habibie, utang bertambah lagi 23 miliar dollar AS menjadi 77 miliar dollar AS. Sekarang ini total utang luar negeri sekitar 78 miliar dollar AS. Ditambah utang dalam negeri, pada pascakrisis 1997, total utang Indonesia pernah mencapai sekitar Rp 2.100 triliun.

Dengan total utang Rp 1.318 triliun dan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa sekarang ini, setiap penduduk Indonesia (termasuk bayi baru lahir) terbebani utang sekitar Rp 7 juta.

Sementara kekayaan alam dan kemandirian serta kapasitas kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus tersandera oleh beban membayar cicilan dan bunga utang yang menyita hingga sepertiga sendiri anggaran belanja APBN. Posisi Utang Rp 1.318 ini terdiri dari Rp 636,6 triliun utang dalam negeri dan 76,6 miliar dollar AS utang luar negeri.

Hasil penelitian Reinhard, Rogoff, dan Savastano tahun 2003 (Almizan Ulva, 2004), batas aman rasio utang luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara berkembang adalah 15-20 persen.

Apabila seluruh portofolio utang pemerintah dikonversi menjadi utang luar negeri, menurut Almizan Ulva—peneliti dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional Depkeu—rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB (tahun dasar 2000) pada 2004 adalah sebesar 52,2 persen. Tingginya angka ini menyebabkan risiko gagal bayar (default) Indonesia juga tinggi.

Sebenarnya utang luar negeri masih bisa diterima selama itu digunakan dengan baik untuk membangun ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta tidak mengakibatkan beban berlebihan pada keuangan negara dan tidak diembel-embeli dengan persyaratan yang memberatkan. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, utang banyak bocor sehingga sasaran yang ingin dituju melalui strategi big push theory juga tidak tercapai.

Prinsip gali lubang tutup lubang masih terjadi karena untuk membayar utang lama, pemerintah harus terus membuat utang baru. Akibat salah kelola utang, Indonesia dalam lingkaran setan perangkap utang (debt trap). Sebuah kajian independen Bank Dunia pernah menyebutkan, sekitar 30 persen utang luar negeri dikorupsi oleh rezim berkuasa pada era Soeharto sehingga kemudian muncul anggapan utang itu utang ”najis” yang tidak pantas dibayar.



Tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor juga diakui oleh AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.

Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.

Ini bukan hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral, seperti dari Jepang, pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek. Melalui modus ini, selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, Jepang sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana utang ini.ngutang

Dari pinjaman yang disalurkannya ini, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang. Dus Indonesia sebagai negara debitor justru menyubsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.

Yang belum terlihat sampai sekarang memang keinginan atau komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk mengurangi utang. Memang benar banyak negara lain berutang. Bahkan, AS yang besar itu pun memiliki utang sangat besar. Tetapi, mereka memiliki kapasitas untuk membayar.

Seperti kata seorang panelis, kemandirian hanya bisa dibangun jika kita bisa menolong diri sendiri. Dalam kaitan dengan utang, mungkin menolong diri sendiri untuk keluar dari jebakan utang.

Hal ini terbuka untuk dilakukan dengan cadangan devisa yang kini sekitar 43 miliar dollar AS. Namun, tampaknya pemerintah tidak mengambil kesempatan itu, seperti juga mereka tidak pernah memaksimalkan diplomasi utang untuk mengurangi beban utang yang ada.

Untuk bisa menatap 2030 sebagai bangsa bermartabat dan berdaulat, tidak diintervensi kekuatan atau kepentingan luar, kita harus berani membebaskan diri dari utang yang bersamanya ada persyaratan yang mengikat kebebasan kita untuk mengatur ekonomi dalam negeri kita sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kalaupun tidak langkah drastis seperti mengemplang utang, setidaknya ada semacam konsensus nasional untuk menghentikan tradisi membuat utang baru. Visi soal utang dan kemandirian ekonomi ini yang belum ada sekarang ini.
(Sri Hartati Samhadi)

SDM Indonesia dalam Persaingan Global

Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:


Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.


Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.

Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global.


Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.


Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.


Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.


Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.


Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia --baik yang berdomisili di kota maupun di desa-- menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena "less papers/documents" dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.


Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive advantages.


Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.


Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.


Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.


Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.


Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan pembangunan.


Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.


Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.


Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki, yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses ketergantungan tersebut.


Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.


Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.

CGI, IMF, dan Sistem Ekonomi Pancasila

Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) merupakan sistem ekonomi yang digali dan dibangun dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Beberapa prinsip dasar yang ada dalam SEP tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori ekonomi Neoklasik yang dibangun atas dasar faham liberal dengan mengedepankan nilai individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68), SEP juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nlai-nilai agama, kebudayaan, adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.

Dengan demikian dalam merumuskan SEP ini perlu dicari sumber-sumber yang menjadi “acuan tindak” dari masyarakat, yang antara lain bisa terefleksi dalam beragam peribahasa (pepatah) yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan moral kehidupan di segala bidang, disamping dari kesenian (wayang, tari-tarian, lagu), petatah-petitih, ataupun dongeng. Peribahasa mengandung beragam makna, bisa berupa peringatan, prinsip dan sikap hidup, ajaran, nilai-nilai, ataupun etika, yang semuanya mengandung makna atau ajaran dan nilai yang disepakati masyarakat. Misalnya saja beberapa peribahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita adalah: “Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” (ajaran untuk bekerja keras). Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing (ajaran tentang kebersamaan, pemerataan, dan keadilan), Kalah jadi abu, menang jadi arang (peringatan untuk hindari konflik), Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan (sikap hidup yang berorientasi pada keadilan), Ada udang dibalik batu (ajaran untuk tidak bermaksud buruk), Air beriak tanda tak dalam (perilaku-ajaran). Atau peribahasa Barat, yang sesuai dengan nilai yang dianutnya, “A golden key open every door” (Dengan uang segala kesulitan dapat diatasi!).

Mengembalikan Indonesia ke Investasi Global

Mengembalikan Indonesia ke dalam radar investasi global. Itu misi dari berbagai agenda kebijakan probisnis yang coba ditempuh pemerintah beberapa bulan terakhir, menurut Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhamad Lutfi.

Namun, mengembalikan tingkat kepercayaan investor ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Pernyataan pahit Wakil Presiden M Jusuf Kalla pada Indonesia Investment Conference (IIC) di Nusa Dua, Bali, Senin lalu, menunjukkan optimisme dan dukungan verbal masyarakat internasional saja tidak cukup. ”Mereka memuji-muji, tetapi tetap saja mereka pergi ke China atau Vietnam,” katanya.

Upaya mengembalikan Indonesia ke dalam radar investasi global sebenarnya sudah dimulai oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya setelah Indonesia terjerumus dalam krisis finansial tahun 1997. Namun, tidak banyak berhasil. Laporan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menunjukkan neraca modal Indonesia terus negatif sejak tahun 1997, kecuali mungkin setahun terakhir. Artinya, arus modal keluar lebih besar ketimbang arus modal masuk.

Lutfi menyebut perbandingan kapitalisasi pasar PT Telkom dengan perusahaan telekomunikasi Singapura, Singapore Telecom (SingTel), sebagai indikasi sederhana masih rendahnya kepercayaan investor pada Indonesia. Kendati kapasitas terpasang untuk sambungan telepon tetap (fixed line) dan seluler antara Telkom dan SingTel hampir sama, tingkat kapitalisasi pasar Telkom hanya seperlima atau bahkan seperenam SingTel.

Dari yang terlihat pada IIC di Bali—diikuti oleh hampir 750 delegasi, kebanyakan wakil dari lembaga keuangan— animo para investor masih sangat tinggi, seperti halnya juga pada Infrastructure Summit I di Jakarta awal tahun lalu. Para delegasi pada IIC umumnya juga optimistis akan prospek ekonomi dan juga prospek berusaha di negara ini.

Namun, lagi-lagi animo tinggi dan sikap optimistis itu baru sebatas pernyataan, belum diwujudkan dalam investasi riil, khususnya di proyek-proyek greenfield (pendirian pabrik baru atau perluasan pabrik lama). Investasi yang masuk sejauh ini lebih banyak investasi jangka pendek di instrumen investasi berpendapatan tetap (fixed income), seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat utang negara (SUN), baru kemudian saham.

Hari-hari ini optimisme kita dibuat melambung oleh lonjakan indeks harga saham di Bursa Efek Jakarta yang terus menguat—mencapai titik tertinggi dalam sejarah pada pekan ini— yakni di atas level 1.300. Demikian pula, nilai tukar rupiah juga menguat begitu perkasa, sempat di bawah level Rp 9.100 per dollar AS. Sejak awal tahun, rupiah tercatat sudah menguat hampir 10 persen dan menjadikannya sebagai the best performer di Asia.

Sentimen positif terhadap Indonesia juga ditunjukkan dari kelebihan permintaan hingga hampir empat kali lipat dalam penerbitan obligasi internasional senilai 2 miliar dollar AS yang dilakukan oleh pemerintah awal bulan ini di New York. Bukan itu saja. Dua lembaga pemeringkat asing juga menaikkan outlook peringkat utang Indonesia.

Beberapa pengamat mengaitkan kuatnya indeks saham dan rupiah yang tidak didukung fundamental ini dengan serbuan uang panas (hot money), yang mencoba memburu aset-aset yang menawarkan pendapatan lebih tinggi atau mengambil keuntungan dari selisih suku bunga rupiah dan suku bunga dollar AS yang mencapai 8 persen saat ini.

Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ikhsan, menyebut angka hot money yang bergentayangan di Indonesia saat ini mencapai 20 miliar dollar AS, suatu jumlah yang amat besar untuk bisa menggoyang sistem keuangan kita mengingat kapitalisasi pasar finansial kita yang masih terbatas.

Namun, tren positif bukan hanya terjadi di instrumen portofolio yang pergerakannya sangat dipengaruhi oleh sentimen atau persepsi pasar. Angka penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) juga meningkat secara spektakuler setahun terakhir.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan angka persetujuan investasi dalam rangka PMA selama tahun 2005 meningkat 30,4 persen menjadi 13,58 miliar dollar AS dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Realisasinya juga meningkat hampir dua kali lipat menjadi 8,9 miliar dollar AS. Untuk PMDN, angka persetujuan meningkat 14,7 persen menjadi Rp 50,58 triliun. Sementara realisasinya juga meningkat dua kali lipat menjadi Rp 30,67 triliun.

Kendati demikian, angka persetujuan PMA turun lagi pada awal tahun ini. Angka persetujuan PMA selama periode Januari- Februari 2006 turun 61 persen dibandingkan periode sama 2005, menjadi 1,27 miliar dollar AS.

Namun, untuk realisasinya, masih meningkat hampir empat kali lipat menjadi 2,21 miliar dollar AS dibandingkan dengan periode sama tahun 2005. Peningkatan ini terutama terjadi untuk investasi di sektor kertas dan tekstil. Untuk PMDN, angka persetujuan masih meningkat sebesar 21,6 persen menjadi Rp 8,17 triliun dan realisasinya juga meningkat 32,4 persen menjadi Rp 3,26 triliun.

Meskipun meningkatnya angka PMA dan PMDN ini di satu sisi bisa menjadi indikasi mulai pulihnya tingkat kepercayaan, beberapa kalangan, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), melihat peningkatan angka PMA dan PMDN yang terjadi sekarang ini belum merupakan suatu tren yang berkesinambungan menuju pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Peningkatan angka PMA dan PMDN tahun lalu, terutama pada awal tahun, menurut Kepala Perwakilan ADB di Indonesia, David Green, seperti dikutip AFX Asia, lebih disebabkan oleh dampak transisi politik di pemerintahan yang mulus pada waktu itu.

Namun, ia mengingatkan, stabilitas politik saja tak cukup untuk bisa menjaga kesinambungan arus investasi, jika berbagai persoalan lain yang menghambat investasi belum diatasi.

Menurut Green, kalangan investor dan pelaku usaha masih mengeluhkan ketidakpastian hukum, ketidakpastian ekonomi dan kebijakan, instabilitas makro-ekonomi, buruknya infrastruktur (terutama pasokan listrik), ekonomi biaya tinggi, ruwetnya masalah perburuhan, tingginya korupsi (baik di tingkat nasional maupun daerah), tingginya biaya dana, tingginya tarif pajak, dan sebagainya.

Green mengingatkan, jika pemerintah gagal mengatasi masalah-masalah ini, bukan lonjakan investasi yang akan dialami Indonesia beberapa tahun ke depan, tetapi sebaliknya penciutan investasi. Faktanya, hingga sekarang fenomena hengkang investor memang masih terjadi.

Peringatan senada diulang lagi oleh Direktur Infrastructure Division Southeast Asia Department ADB Patrick Giraud pada wawancara dengan Kompas dan The Jakarta Post di sela-sela IIC di Nusa Dua, Selasa lalu.

Menurut dia, orang lain mungkin merasa optimistis 100 persen soal Indonesia, tetapi dia cukup 51 persen saja. Untuk saat ini, dia memilih lebih baik menunggu dulu bagaimana pemerintah akan mengimplementasikan seabrek paket kebijakan yang sudah dibuatnya sekarang ini.

Harus lebih serius

Sejumlah pengamat mengatakan, lonjakan indeks saham dan rupiah pekan lalu memang membuat mata investor portofolio berpaling ke Indonesia. Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi tren berkesinambungan dan investasi jangka pendek ini akan diikuti atau dikonversikan menjadi investasi jangka panjang yang bisa mendorong pertumbuhan dan lapangan kerja?

Dalam sambutannya pada IIC, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono mengatakan sudah waktunya masyarakat internasional melihat Indonesia lebih serius lagi di masa mendatang. Ada beberapa alasan yang dikemukakan Boediono—dan juga beberapa pembicara lain—selain kinerja indeks saham dan rupiah yang mencapai rekor pekan lalu.

Mereka umumnya menyebut pasar yang sangat besar dan potensi sumber daya alam sebagai pesona yang sulit dilawan oleh banyak negara di dunia ini. Dalam konferensi tersebut, Boediono kembali menegaskan hal yang sudah berulang kali diungkapkan dalam berbagai forum yang berbeda, yakni komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan reformasi, dalam upaya mengubah secara dramatis persepsi mengenai Indonesia beberapa tahun ke depan.

Boediono juga kembali menyebut tiga pilar strategi untuk mendorong investasi dan ekspor. Pertama, mengatasi masalah-masalah berkaitan dengan iklim investasi, termasuk di sektor infrastruktur. Kedua, mempercepat penanganan kasus-kasus penting (high profile), terutama karena persepsi yang diciptakannya. Ketiga, mengatasi berbagai isu di sektor finansial, terutama dalam rangka mendorong penyaluran kredit dan memperbaiki struktur pasar modal.

Dalam paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang diluncur baru-baru ini, pemerintah menetapkan 85 tindak kebijakan dalam lima bidang, antara lain pemangkasan waktu pengurusan perizinan usaha dari rata-rata 150 hari menjadi 30 hari. Pemerintah juga berencana menghilangkan semua diskriminasi terhadap PMA dan PMDN, serta mengurangi daftar sektor yang terlarang untuk dimasuki asing (negative list). Rancangan Undang-undang (RUU) Investasi-nya sendiri telah disampaikan ke DPR bulan ini.

Kebijakan penting lain yang ditempuh adalah reformasi perpajakan, yang antara lain mengurangi tarif pajak, memperbaiki administrasi pajak, serta harmonisasi pajak pusat dan daerah. Tarif pajak yang 30 persen sekarang ini secara bertahap akan diturunkan menjadi 28 persen pada tahun 2006 dan 25 persen pada tahun 2010.

Di sisi kepabeanan, reformasi difokuskan pada upaya menekan biaya logistik yang selama ini dianggap sebagai sumber utama ketidakkompetitifan Indonesia. Termasuk menambah jumlah importir jalur hijau. Untuk memperbaiki penciptaan lapangan kerja dan fleksibilitas pasar kerja, pemerintah juga mengajukan revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa pasal yang akan direvisi adalah pasal-pasal mengenai pesangon, kontrak kerja, outsourcing, dan penetapan upah minimum.

Pemerintah juga berusaha mengkaji persoalan-persoalan yang membuat 91 proyek infrastruktur yang ditawarkan pada Infrastructure Summit I tak menarik minat investor. Salah satunya dengan memperbaiki persiapan proyeknya. Pemerintah juga memutuskan menempuh konsep pembagian risiko (risk-sharing) untuk proyek infrastruktur tertentu. Beberapa proyek yang dipertimbangkan untuk menggunakan kerangka kerja (framework) ini adalah sejumlah proyek ketenagalistrikan dan proyek jalan yang sudah tertunda selama bertahun-tahun.

Sedangkan pilar ketiga meliputi akses ke kredit bagi investor domestik, terutama perusahaan kecil dan menengah. Untuk ini, pemerintah dan Bank Indonesia sepakat mengenai perlunya paket kebijakan sektor keuangan untuk mendukung dua pilar terdahulu.

Melalui semua langkah itu, pemerintah menargetkan tingkat investasi sudah kembali ke level seperti sebelum krisis pada 2-3 tahun mendatang untuk mencapai pertumbuhan 6-7 persen.

Para pembicara pada IIC di Nusa Dua awal pekan ini mengakui kuatnya komitmen pemerintah dan sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi. Namun, menurut mereka, masih lebih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki iklim investasi. Mereka antara lain menunjuk pada masih maraknya praktik korupsi dan buruknya governance atau corporate governance.

Hal lain yang ditunggu-tunggu investor adalah implementasi dari langkah-langkah kebijakan dan berbagai paket kebijakan yang sudah dan akan diluncurkan oleh pemerintah. Patrick Giraud menyebut, sejak Infrastructure Summit I, sudah ada sekitar 53 program reformasi yang sampai di meja presiden. Namun, pelaksanaannya belum terlihat sampai sekarang.

Jadi, seperti ditegaskan oleh Giraud dan juga pembicara lain pada IIC di Bali: kini saatnya implementasi. Kalau tidak, akan seperti yang dikeluhkan wakil presiden, investor memuji-muji, tetapi tetap saja mereka bukan berinvestasi ke Indonesia, tetapi ke China, Vietnam, atau India.

Prospek Bisnis UKM dalam Era Perdagangan Bebas dan Otonomi Daerah

Usaha kecil menengah telah terbukti mampu hidup dan berkembang di dalam badai krisis selama lebih dari enam tahun, keberadaannya telah dapat memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar hampir 60%, penyerapan tenaga kerja sebesar 88,7% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia dan kontribusi UKM terhadap ekspor tahun 1997 sebesar 7,5% (BPS tahun 2000). Dalam menghadapi era perdagangan bebas dan otonomisasi daerah maka pengembangan UKM diarahkan pada : (1). Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM; (2). Pengembangan lembaga-lembaga financial yang dapat memberikan akses terhadap sumber modal yang transparan dan lebih murah; (3). Memberikan jasa layanan pengembangan bisnis non finansial kepada UKM yang lebih efektif; dan (4). Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri. Berkembang atau matinya usaha kecil menengah dalam era perdagangan bebas tergantung dari kemampuan bersaing dan peningkatan efisiensi serta membentuk jaringan bisnis dengan lembaga lainnya.

Krisis ekonomi kini sudah berusia lebih dari enam tahun. Namun tanda-tanda pemulihan yang diharapkan agaknya masih berjalan sangat lambat dan terseok-seok, walaupun nilai tukar rupiah semakin menguat dan kondisi sosial-politik nasional sudah semakin membaik. Pemulihan ekonomi yang berjalan lambat ini ditunjukkan antara lain dari masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan serta "mandegnya" perkembangan kegiatan usaha berskala besar baik PMA maupun PMDN. Secara detail angka-angka perkembangan indikator makro ekonomi yang belum menjanjikan dapat kita lihat pada laporan yang dikeluarkan, baik oleh Badan Pusat Statistik maupun dalam literatur-literatur ekonomi lainnnya (misalnya, Prema Chandra Athukorola, Bulletin Of Indonesian Economic Studies, Agustus 2002; Badan Pusat Statistik, 2002 dan 2003). Mesin pemulihan ekonomi selama ini masih sangat tergantung pada besaran tingkat konsumsi semata, dan sedikit didorong oleh kegiatan investasi portofolio dan ekspor.

Ditengah pemulihan ekonomi yang masih lambat ini, perekonomian nasional dihantui pula dengan ambisi nasional untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi. Selain itu, adanya komitment nasional untuk melaksanakan perdagangan bebas multilateral (WTO), regional (AFTA), kerjasama informal APEC, dan bahkan ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2020 merupakan tambahan pekerjaan rumah yang harus pula disikapi secara serius. Dalam hal otonomi daerah dan desentralisasi, berbagai persoalan masih semrawut. Ini terjadi karena disatu pihak ada pihak-pihak tertentu yang tetap berkeinginan untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan UU no. 22/1999 dan UU no. 25/1999, sedangkan di pihak lain banyak yang menuntut revisi alas kedua undang-undang tersebut. Tarik menarik ini selanjutnya menimbulkan berbagai ketidakpastian, sehingga banyak daerah menetapkan berbagai peraturan baru khususnya yang berkaitan dengan pajak daerah, lisensi dan pungutan lainnya. Diperkirakan lebih dari 1000 peraturan yang berkaitan dengan pajak dan pungutan lainnya telah dikeluarkan daerah-daerah sejak diundangkannya pelaksanaan desentralisasi (Jakarta Post, 6 Mei 2002). Peraturan-peraturan ini telah menghasilkan beban berat bagi pelaksanaan kegiatan usaha di daerah (Firdausy, 2002; Ilyas Saad, 2002).

Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pengembangan kegiatan usaha kecil dan menengah (selanjutnya disebut UKM) dianggap sebagai satu alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan kegiatan UKM relatif tidak memerlukan kapital yang besar dan dalam periode krisis selama ini UKM relatif Utahan banting", terutama UKM yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika telah menyebabkan UKM dalam sektor pertanian dapat mengeruk keuntungan yang relatif besar. Sebaliknya, UKM yang tergantung pada input import mengalami keterpurukan dengan adanya gejolak depresiasi rupiah ini.

Tulisan singkat ini bertujuan untuk mediskusikan prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah. Untuk membahas topik ini, berikut akan diuraikan potensi dan kontribusi UKM terhadap perekonomian nasional sebagai latar belakang analisis. Kemudian, didiskusikan upaya apa yang harus dilakukan dalam pengembangan UKM khususnya di daerah dalam menghadapi perdagangan bebas dan otonomi daerah.

PARADIGMA KESEJAHTERAAN RAKYAT DALAM EKONOMI PANCASILA

I. Amandemen Konstitusi yang Keliru

1. Ada tiga istilah berbeda yang dalam praktek digunakan secara bergantian dan sering dianggap sama arti yaitu Kesejahteraan Sosial (judul bab XIV UUD 1945), Kemakmuran Rakyat (ayat 3 pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya), dan Kesejahteraan Rakyat (nama sebuah Kementerian Koordinator). Kebanyakan kita tidak berminat secara serius membahas secara ilmiah perbedaan ke tiga istilah tersebut. Akibat dari keengganan ini jelas yaitu tidak pernah ada kepastian dan ketegasan apa misi sosial instansi-instansi pemerintah atau kementerian utama yang berada dalam lingkup Menko Kesejahteraan Rakyat seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Departemen/Kementerian Sosial. Jika judul bab XIV yang mencakup pasal 33 UUD 2002 (amandemen pasal 33 UUD 1945) diubah dari hanya Kesejahteraan Sosial menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (terdiri atas 5 pasal, 3 pasal lama dan 2 pasal baru), maka anggota MPR kita rupanya telah tersesat ikut menganggap bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial. Pada saat disahkannya UUD 1945 para pendiri negara tidak ragu-ragu bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial. Dalam kaitan dengan dasar-dasar ilmiah lahirnya ilmu ekonomi, para pendiri negara berpandangan bahwa ilmu ekonomi adalah cabang/bagian dari ilmu sosial yang pengamalannya akan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

2. Kekeliruan lain yang muncul dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 adalah penambahan ayat 4 tentang penyelenggaraan perekonomian nasional yang dibedakan dari penyusunan perekonomian nasional yang sudah disebutkan pada ayat 1: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Alasan penambahan ayat 4 rupanya sekedar mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan pada ayat 1. Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan memang bersemangat sekali memasukkan kata efisiensi (ekonomi) karena mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi, padahal yang benar perekonomian yang berasas kekeluargaan atau berasas Pancasila tidak berarti sistem ekonomi “bukan pasar”. “Masih untung”, dalam rumusan hasil amandemen (ayat 4) kata efisiensi disambung dengan kata berkeadilan (efisiensi berkeadilan), padahal rumusan aslinya adalah efisiensi, berkeadilan, … dst. Tentu dapat dipertanyakan apakah memang ada konsep efisiensi berkeadilan atau sebaliknya efisiensi yang tidak berkeadilan.

3. Kekeliruan fatal yang dapat dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap ikrar para pendiri negara adalah penghapusan total penjelasan pasal-pasal UUD 1945 pada UUD 2002. Menyangkut pasal 33, penghapusan penjelasan UUD 1945 ini berarti hilangnya pengertian demokrasi ekonomi (pengutamaan kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang-seorang, atau “produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”), dan juga dihilangkannya kata koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi atau asas kekeluargaan. Seorang angota DPRD Kota Magelang saat mengetahui hal ini (12 Maret) menyatakan bingung lalu bertanya, “Apa pegangan kami untuk melaksanakan dan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan?”

4. Demikian, paham “ekonomisme” yang telah “merajalela” di Indonesia sejak Orde Baru dan lebih diintensifkan lagi sejak meningkatnya globalisasi dan Neoliberalisme medio delapan puluhan (Kebijaksanaan Paket 88), telah benar-benar “mengacaukan” pengertian kesejahteraan rakyat di Indonesia, sampai-sampai seorang konglomerat yang tidak setuju konsep ekonomi rakyat pada tahun 1997 menjadi penasaran dengan menyatakan “Saya (yang konglomerat) kan juga rakyat to, Pak?”. Di sini jelas betapa kata rakyat dalam pengertian tata-negara telah dikacaukan untuk membela kepentingan ekonomi mereka yang tidak termasuk ekonomi rakyat. Seharusnya tidak sulit mematahkan argumentasi konglomerat tersebut apabila dikatakan, “Jika Anda memang rakyat, mengapa Anda tidak tinggal di RSS di komplek perumahan rakyat?”

5. Paradigma kesejahteraan rakyat memang sangat perlu diperdebatkan oleh siapa saja terutama pejabat yang bertugas memikirkan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Upaya-upaya ke arah itu selama ini dianggap cukup memadai melalui peningkatan kemakmuran rakyat (pembangunan ekonomi) atau melalui program-program penanggulangan kemiskinan yang hasilnya memang sejauh ini masih belum menggembirakan.

Terbukti bahwa berbagai upaya dan program ini banyak yang tidak berhasil terutama karena dilaksanakan dalam kerangka sistem ekonomi pasar bebas yang kapitalistik liberal, yang tidak peduli pada “nasib” rakyat kecil dan membiarkan terjadinya persaingan liberal antara konglomerat dan ekonomi rakyat. Inilah masalah besar sistem perekonomian yang kini berjalan di Indonesia. Kita patut terus-menerus berusaha untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila yaitu sistem ekonomi pasar yang mengacu pada sila-sila Pancasila, yang benar-benar menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


II. Ekonomisme yang Menjauhi Pancasila

6. Dalam buku Wilber Moore, Economy and Society (Random House, 1955) yang meminjam dari buku besar Max Weber sosiolog Jerman, Wirtschaft und Gesellschaft atau Economy and Society (Tubingen, JCB Hohr, 1910) jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang masyarakat sendiri.

Meskipun di Indonesia semua orang menyadari krisis yang kita hadapi sejak 1997 adalah krisis multidimensi (politik, ekonomi, budaya), namun orang cenderung dengan mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Konotasi ekonomi rupanya dianggap jauh lebih “menyeluruh” atau dianggap jauh lebih penting ketimbang aspek-aspek kehidupan politik, sosial, budaya, bahkan moral. Adapun alasan utama anggapan lebih pentingnya ekonomi ketimbang faktor-faktor lain adalah karena sejak pembangunan ber-Repelita (1969), pembangunan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun (210% secara akumulatif), telah mengubah Indonesia secara “luar biasa” dari sebuah negara miskin menjadi megara yang tidak miskin lagi.

7. Perubahan besar masyarakat Indonesia karena keberhasilan dalam pembangunan ekonomi memberikan kesan adanya sumbangan luar biasa dari teknokrat ekonomi dan hampir-hampir melupakan kemungkinan adanya jasa kepakaran lain-lain di luar ekonomi. Jika ada profesi lain di luar ekonomi ia adalah militer yang telah berjasa menjaga kestabilan politik pemerintah Orde Baru, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Inilah yang oleh Bank Dunia (1993) disebut sebagai East Asian Miracle, karena Indonesia merupakan bagian dari 8 negara Asia Timur yang telah mengalami “Sustainable rapid growth with highly equal income distribution”. Jika kita baca secara teliti buku East Asian Miracle maka akan nampak kesembronoannya dalam menggambarkan realita ekonomi Indonesia saat itu. Memang benar pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 7% pertahun berlangsung 30 tahun, meskipun pernah serendah 2,2% pada tahun 1982. Namun sangat keliru untuk menyatakan bahwa pembagian pendapatannya sangat merata (highly equal). Pada tahun yang sama dengan penerbitan buku (1993), Sidang Umum MPR menyatakan telah munculnya kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang tajam yang jika dibiarkan akan berakibat pada keangkuhan dan kecemburuan sosial. Kekeliruan fatal dari masyarakat dan bangsa Indonesia adalah mengabaikan hasil Sidang Umum MPR 1993 tersebut dan menganggap kesimpulan buku East Asian Miracle lebih benar. Akibatnya, tidak sampai Repelita VI selesai, krismon yang merupakan “bom waktu” meledak tahun 1997, tanpa kita mampu menduganya. Padahal jika kita waspada justru MPR 1993 telah benar-benar memperingatkannya.

8. Kini hampir 6 tahun setelah krismon meledak, kita bangsa Indonesia masih bersikukuh bahwa “ekonomi adalah segala-galanya”. Itulah yang kami sebut sebagai periode Ekonomisme (Mubyarto, 2001). Terbukti krisis yang jelas bersifat multidimensi kita sebut hanya sebagai krisis ekonomi dan satu-satunya jalan keluar (solution) dari suatu krisis ekonomi adalah kebijakan (makro) ekonomi untuk pemulihan ekonomi (economic recovery). Maka tidak heran kita menyambut gembira misi PBB di Jakarta bertajuk UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery) yang dipimpin pakar-pakar ekonomi. UNSFIR setelah bekerja 5 tahun di Indonesia tidak pernah berhasil membantu proses pemulihan ekonomi tetapi hasilnya baru sekedar “studi-studi”.

Salah satu kesalahan serius, sekali lagi, adalah kepercayaan kita yang terlalu besar bahwa pemulihan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan ekonomi konvensional adalah satu-satunya jalan. Dan di antara cara-cara konvensional itu adalah menganggap bahwa kebijakan moneter khususnya melalui peranan perbankan modern adalah segala-galanya. Sektor perbankan dianggap “conditio sine qua non” termasuk kini pasar uang dan pasar modal, sehingga pemerintah bersedia membiayai berapapun untuk “menyelamatkan” sektor perbankan melalui program rekapitalisasi perbankan. Sikap pemerintah yang keliru dalam menghadapi krisis perbankan inilah yang telah menyandera seluruh kebijakan pemerintah sejak krismon padahal terbukti BPPN sebagai rumah sakit perbankan nasional justru menjadi lahan baru kaum pemodal (kapitalis) untuk mengeruk keuntungan bagi mereka sendiri. Di kalangan perbankan swasta sama sekali tidak nampak itikad baik membantu menyelesaikan masalah ekonomi yang sedang dihadapi negara dan bangsa Indonesia.

9. Jika kini kita bertanya kepada pakar-pakar ekonomi bagaimana peranan “Ekonomi Bangsa dalam upaya mensejahterakan Masyarakat”, maka mayoritas ekonom tidak akan sanggup menjawabnya, kecuali mereka yang tidak lagi percaya pada teori-teori ekonomi Neoklasik Ortodok Barat yang dikuasainya. Selama pakar-pakar ekonomi merasa teori ekonomi Kapitalisme-Neoliberal harus tetap dianut Indonesia, lebih-lebih jika mereka berpendapat Indonesia jangan coba-coba melawan kekuatan globalisasi yang dahsyat, maka tidak mungkin pakar-pakar ekonomi dapat menemukan resep untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia. Menghadapi kekuatan globalisasi banyak diantara pakar ekonomi kita menyarankan sikap konyol “if you can not beat them, join them”. Kita harus sadar bahwa pemecahan masalah ekonomi Indonesia tidak terletak di bidang ekonomi tetapi di bidang sosial, politik, budaya, dan moral bangsa. Faktor-faktor itulah yang terkandung dalam Pancasila ideologi bangsa. Hanya dalam Pancasila terkandung dasar-dasar moral dan kemanusiaan, cara-cara nasionalistik dan kerakyatan/demokratis, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inilah ajaran Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila adalah Sistem Ekonomi Pasar yang mengacu pada setiap sila Pancasila. Sistem ekonomi Pancasila memberikan pedoman penyusunan kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak sekedar efisien, tetapi juga adil. Masyarakat bangsa Indonesia yang akan kita wujudkan adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila, masyarakat yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Suatu masyarakat yang tidak efisien dapat bertahan beberapa generasi tetapi jika keadilan sama sekali diabaikan masyarakat yang bersangkutan akan terus bergejolak dan tidak pernah akan merasa tenteram.

10. Dalam era perubahan besar yang kita kenal dengan nama globalisasi atau keadaan pasar bebas, ekonomi Indonesia akan terhanyut, dan tidak akan mampu bertahan, jika kita sebagai bangsa tidak lagi mempunyai rasa percaya diri. Globalisasi adalah gerakan berkekuatan raksasa karena dikendalikan oleh kekuatan modal besar dan teknologi super canggih dari negara-negara kapitalis Barat yang ingin menguasai dunia. Aturan main globalisasi adalah aturan buatan mereka dan tidak ada sedikitpun peranan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang ikut mempengaruhinya. Maka satu-satunya jalan bagi Indonesia untuk melawannya adalah dengan menyusun aturan main buatan kita sendiri berdasar kekuatan sosial-budaya kita sendiri. Itulah ideologi Pancasila, ideologi yang telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia sehingga dapat menjadi bangsa merdeka tahun 1945. Mengapa kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 57 tahun tidak mampu membuat bangsa Indonesia percaya diri untuk mempertahankan kemerdekaan dan menghadapi perubahan besar/globalisasi? Jawabannya jelas karena bangsa Indonesia telah tererosi moralnya dan dimanja oleh kemajuan materi selama 30 tahun era ekonomisme. Kini tidak ada jalan lain kecuali menemukan kembali jati diri bangsa dan sekali lagi jati diri itu tidak lain adalah Pancasila. Pancasila telah dua kali menyelamatkan bangsa Indonesia yaitu tahun 1945 telah membebaskan kita dari penjajahan, dan tahun 1966 membebaskan kita dari ancaman komunisme. Kini kita harus percaya bahwa hanya Pancasilalah yang akan menyelamatkan kita dari ancaman globalisasi yang liar dan serakah.


III. Kebutuhan akan Ilmu Ekonomi Pancasila

11. Pada tahun 1936 J.M. Keynes seorang diri membuat revolusi dengan menunjukkan bahwa ilmu ekonomi yang dipelajari dan dikembangkan selama 150 tahun sejak 1776 adalah ilmu yang keliru yang harus ditinggalkan jika sistem kapitalisme ingin selamat. Hal mendasar yang paling jelas kekeliruannya adalah kepercayaan selalu terjadinya keseimbangan (equilibrium) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) yang terkenal sebagai hukum Say (Say’s Law).

Ilmu Ekonomi di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang yang lain, juga tidak relevan (irrelevant) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ilmu ekonomi yang diajarkan di Indonesia sejak pertengahan tahun limapuluhan adalah ilmu yang mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda, yang mengajarkan sifat-sifat egoisme (memikirkan diri sendiri) pada setiap orang dan menafikan asas dan semangat kekeluargaan.

Ilmu Ekonomi Pancasila bertolak belakang dengan ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang kini diajarkan di perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah lanjutan, yang mengasumsikan rumah tangga atau masyarakat semata-mata sebagai konsumen yang hanya bertindak sebagai kumpulan “tukang belanja” dan di pihak lain produsen yaitu dunia usaha yang pekerjaannya sangat mulia yaitu memproduksi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat/masyarakat dianggap selalu merupakan misi dunia usaha. Maka investor selalu dianggap “dewa penyelamat” yang tugasnya “memakmurkan masyarakat” atau membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang membutuhkannya.

Demikian pakar-pakar ekonomi Indonesia yang menerima sebagai tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat harus berdiri di baris terdepan merombak total ajaran ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang sudah kita terima laksana ajaran agama, padahal ia jelas-jelas hanya mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda. Ilmu Ekonomi Pancasila adalah ilmu tentang ekonomi moral yang sesuai nilai dan budaya

REFORMASI KEBIJAKAN HARGA PRODUSEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DAYA SAING BERAS

Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil risiko dalam berusahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi dalam musim panen raya.1,2,3) Manakala risiko suatu usaha dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin4. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri menjadi salah satu unsur penting dalam memperkuat ketahanan pangan dalam situasi pasar beras internasional masih mencirikan pasar tipis (thin market) dan pasar sisa (residual market). 4,5,6)

Kebijakan harga gabah/beras untuk produsen dapat terlaksana karena adanya pengadaan, dalam hal ini BULOG sebagai lembaga pengesekusi. Pengadaan gabah/beras dapat terealisasi karena adanya mekanisme penyalurannya. Penyaluran beras pengadaan tersebut akan terhambat apabila kualitas gabah/beras tetap rendah.4,7,8,9) Kualitas gabah dan beras adalah salah satu kunci daya saing industri padi dan beras nasional10. Oleh karena itu, kebijakan harga dan insentif pendukung lainnya perlu dirancang untuk saling memperkuat keterkaitan tersebut, sehingga mampu memperkuat industri primer (padi) dan industri sekunder (beras).11,12)

Dalam dua puluh tahun terakhir telah tersedia berbagai teknologi panen, pasca-panen, dan penggilingan padi yang mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas gabah/beras, namun terkendala dalam penerapannya, karena rendahnya insentif yang diperoleh petani dan pelaku usaha. Teknologi padat karya pada umumnya masih diadopsi petani meskipun upah buruh terus meningkat. Unit penggilingan padi skala kecil masih mendominasi industri pengolahan gabah. Indonesia jauh tertinggal dalam penerapan teknologi panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan padi dibandingkan dengan beberapa negara produsen padi di Asia, seperti Vietnam, Thailand, dan Cina.1,13,14,15,16)

Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) kini sedang berada di persimpangan jalan, dengan pengertian apakah akan mereformasi kebijakan harga untuk menghadapi tantangan baru di era liberalisasi? Atau, apakah pemerintah akan tetap mempertahankan HPP kualitas tunggal, yaitu beras kualitas medium yang telah diterapkan selama 41 tahun terakhir, pada: (i) era swasembada/surplus produksi; (ii) era tuntutan peningkatan jumlah serta perbaikan kualitas gabah/beras pengadaan dalam negeri dan stok publik cadangan beras pemerintah; (iii) era pengadaan BULOG dinaikkan dari 6-7% menjadi 8-10% terhadap total produksi beras nasional; dan (iv) era persaingan bebas untuk komoditas beras di kawasan ASEAN FTA.

Dengan latar belakang inilah fokus utama materi orasi ini disusun untuk mendukung kebijakan baru tentang HPP, strategi pengadaan gabah/beras BULOG, dan kualitas cadangan beras pemerintah (CBP).

Pentingnya Ekonomi Rakyat

Ada dua alasan utama kenapa ekonomi rakyat merupakan suatu isu penting di dalam perekonomian Indonesia. Pertama, kemiskinan hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah serius. Walaupun jumlah orang miskin sebagai persentase dari jumlah penduduk terus menurun, di lapangan kenyataannya berbeda, kemiskinan semakin nyata. Tidak hanya itu, jumlah orang yang rentan terhadap kemiskinan juga banyak,yakni mereka yang saat ini masih banyak berada di atas garis kemiskinan. Sedikit saja ada goncangan seperti kenaikan harga pangan atau enerji, mereka langsung jatuh miskin. Kedua, masalah pengangguran yang juga sulit dituntaskan. Di satu sisi, jumlah penduduk yang berarti juga jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan bertambah, namun disisi lain, kesempatan kerja yang disediakan di sektor formal semakin terbatas. Karena Indonesia tidak memiliki tunjangan pengangguran seperti di negara-negara welfare states di Eropa Barat, maka mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal terpaksa melakukan pekerjaan apa saja di sektor informal. Jadi, sektor informal selama ini berfungsi sebagai pekerjaan the last resort bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal.

Pendefinisian ekonomi rakyat hingga saat ini belum tuntas. Apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat? Siapa yang termasuk rakyat dan siapa yang tidak? Apakah seorang konglomerat berwarga negara dan tinggal di Indonesia bukan termasuk rakyat, sehingga perusahaannya tidak dianggap ekonomi rakyat?. Namun ada semacam kesepakatan umum bahwa usaha-usaha yang masuk di dalam kategori ekonomi rakyat adalah usaha mikro (UMI), usaha kecil (UK), atau gabungan usaha mikro dan kecil (UMK). Perusahaan tersebut pada umumnya tidak terdaftar, tidak memiliki izin usaha. Kebanyakan dari UMK digolongkan sebagai sektor informal.

Sebagian besar dari jumlah unit usaha di Indonesia adalah kategori UMK (Tabel 1). Pada tahun 2007 misalnya, dari 50 juta perusahaan yang tercatat, sekitar 99 persen lebih adalah kategori UMK. Berbeda dengan usaha menengah (UM), usaha besar (UB), dan digabung menjadi usaha menengah dan besar (UMB), UMK sangat padat karya. Oleh karena itu, keberadaan UMK menandakan keberadaan ekonomi rakyat, dan menjadi sangat krusial terutama dikaitkan dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan.

BI Optimistis Inflasi Inti Dibawah 5 Persen

Suasana pedagang sayur mayur di Pasar Senen, Jakarta (25/11). Menjelang Hari Raya Idul Adha, harga-harga beberapa kebutuhan pokok dan sayur mayur di Jakarta mulai merangkak naik. TEMPO/Subekti.

TEMPO Interaktif, Jakarta -Bank Indonesia optimistis inflasi inti tahun ini bakal dibawah 5 persen. "Inflasi inti tidak akan lebih dari lima persen," ujar Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo Perry saat ditemui wartawan di kompleks Bank Indonesia, Jumat (7/1).

Bank Indonesia menyadari risiko tekanan inflasi semakin meningkat. Misalnya akibat beberapa kebijakan pemerintah seperti harga pokok penjualan (HPP) beras, pupuk dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Selain itu risiko tekanan inflasi juga datang dari harga komoditas internasional. "Itu semuanya akan diwaspadai," kata Perry. Kenaikan harga komoditas internasional sudah terjadi sejak tahun lalu. Adapun tahun ini, kenaikan komoditas internasional diramalkan tidak terlalu signifikan.

Kenaikan HPP Gabah dan Beras Memicu Inflasi

Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras, secara tidak langsung terbukti dapat memicu inflasi. Kenaikan harga beras melalui HPP tidak menjadi soal sepanjang dinikmati petani dan terjangkau masyarakat.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan, Jumat (7/1/2011), di sela-sela rapat koordinasi perekonomian membahas isu pangan di Kementerian Pertanian.

Rapat dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan diikuti Menteri Pertanian Suswono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Kepala BPS, Menteri Keuangan, dan Direktur Utama Perum Bulog. Saat ini pemerintah tengah merevisi Inpres No 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan Nasional, yang di dalamnya memuat kebijakan HPP.

Hingga Jumat sore, pemerintah belum memutuskan apakah HPP gabah atau beras bakal naik atau tidak. Rusman menjelaskan, setiap kebijakan baru pemerintah yang diterbitkan dalam bentuk penetapan kenaikan HPP untuk gabah atau beras, secara tidak langsung, dapat mendorong kenaikan harga beras di pasar.

Dengan HPP naik, petani secara psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Pedagang membayar lebih mahal sehingga harga jual naik. Kenaikan harga memicu inflasi.

Meski begitu, Rusman mengatakan, naiknya harga beras melalui kenaikan HPP tidak menjadi soal sepanjang petani yang menikmati sebagian besar keuntungan dan sepanjang masyarakat bisa menjangkau kenaikan harga itu.

Berdasar pengamatan di lapangan, harga beras di pasar tahun 2010 mencapai Rp 6.500 per kilogram, bahkan sempat menyentuh Rp 7.000 per kilogram. Harga beras di pasar jauh melebihi HPP Rp 5.060 per kilogram. Naiknya harga beras akibat gangguan produksi dan spekulasi pasar mengingat stok beras Bulog tahun 2010 tipis. Padahal, stok merupakan modal utama stabilisasi harga.

Kenaikan Tiket Kereta Untuk Biaya Operasional

PT Kereta Api Indonesia menyatakan kenaikan harga tiket untuk menutupi biaya operasional perusahaan selama sembilan tahun. Direktur Komersial PT KAI, Sulistyo Wimbo Hardjito mengatakan sejak sembilan tahun lalu, tarif kereta api tidak pernah dinaikan. "Padahal biaya operasional terus meningkat," katanya di Jakarta, Jumat (7/1).

Mulai Sabtu (8/1) besok, PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan memberlakukan tarif baru untuk kereta api kelas ekonomi. PT Kereta Api akan menaikkan tarif hingga kisaran 200 persen dibandingkan harga sebelumnya.

Wimbo mengatakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) misalnya. Dengan meningkatnya kebutuhan serta harga bahan bakar minyak, biaya untuk memenuhi kewajiban pelayanan umum atau public service obligation (PSO) dinilai tidak dapat mencukupi keseluruhan kegiatan perusahaan. "Selama ini selisih biaya PSO yang diminta perusahaan dengan yang diberikan oleh pemerintah sekitar Rp 120 hingga 165 miliar. Jadi kebutuhan perusahaan dengan yang diberikan selalu tidak sama," katanya.

Tahun lalu, PT Kereta Api mengajukan biaya PSO sebanyak Rp 700 miliar, tapi pemerintah hanya memberikan sekitar Rp 535 miliar. Nantinya kenaikan tarif akan digunakan untuk memperbaiki fasilitas seperti perbaikan lampu dan kipas angin di dalam kereta api.

Tiga bulan ke depan pemerintah akan melakukan evaluasi terkait dengan perbaikan fasilitas. "Jika sudah menaikkan tarif tapi tidak bisa meningkatkan fasilitas, PT KA akan dikenakan penalti dari pemerintah," jelasnya.

Tahun lalu, untuk biaya pemeliharaan fasilitas kereta api diperlukan dana sekitar Rp 400 miliar. Sedangkan untuk 2011, kata wimbo, perusahaan menyiapkan dana sekitar Rp 1 triliun untuk preawatan track. "Sedangkan untuk perawatan sarana-sarana hampir mendekati angka Rp 2 triliun," katanya.

Kenaikan tarif untuk kereta api kelas ekonomi terbagi dalam lima jenis tarif, antara lain kereta api jarak jauh antara Rp 4.000-8.500, kereta api jarak sedang antara Rp 1.000-5.500, kereta api jarak dekat antara Rp 500-2.000, kereta rel diesel (KRD) antara Rp 500-1.500, dan kereta rel listrik (KRL) antara Rp 500-2.000.

Untuk kenaikan tarif kereta api tersebut, Kepala Humas Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Muhartono, Menteri Perhubungan telah mengeluarkan surat instruksi yang ditujukan untuk Direktur Utama PT KAI.

Dalam surat tersebut, Menteri telah menyetujui agar PT KAI dapat melaksanakan KM Nomor 35 Tahun 2010 tentang Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Api. "Surat instruksi itu keluar pada 5 Januari lalu," katanya.